BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seni musik
(instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik
dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara
menggunakan instrument musik, misalnya musik vocal dan musik instrumentalia. Abdurrahman Al Bagdadi dalam ensiklopedi
Indoesia mengatakan bahwa devinisi seni yaitu penjelmaan rasa indah
yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantara alat komunikasi
ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra pendengaran (seni suara),
penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantara gerak (seni tari,
drama).
Menurut
bahasa, kata gender diartikan sebagai “the grouping of words into masculine,
feminine, and neuter, according as they are regarded as male, female or without
sex” yang artinya gender adalah kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,
feminin, atau tanpa keduanya (netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah
perbedaan yang bukan biologis dan juga bukan kodrat Tuhan. Konsep gender sendiri
harus dibedakan antara kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan
jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara
permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis. Sedangkan gender
adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara
sosial dibentuk.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian seni musik?
2. Adakah
Dalil-dalil yang mengharamkan dan menghalangkan nyanyian?
3. Apa hukum
mendengarkan nyanyian?
4. Apa hukum
memainkan alat musik?
5. Apa
pengertian gender?
6. Bagaimana
kesetaraan gender dalam Al-Qur’an?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar kita
dapat mengetahui apa itu seni musik dan gender.
2. Untuk
mengetahui apa hukum mendengarkan nyanyian dan memainkan alat musik.
3. Untuk
Memberi pengertian bahwamembahas masalah gender bukanlah masalah perempuan
menghadapi laki-laki melainkan masalah masalah gender adalah permasalahan
masyarakat bersama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Islam dan Musik
1. Pengertian
Seni Musik
Seni musik (instrumental art) adalah
bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari
alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara menggunakan instrument musik,
misalnya musik vocal dan musik instrumentalia.
Seni musik dapat disatukan dengan
seni instrumental atau seni vocal. Seni instrumentalia adalah seni suara yang
dipendengarkan melalui media alat-alat musik, sedangkan seni vocal adalah
melagukan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja)
tanpa iringan instrument musik.
2. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian:
a. Berdasarkan
firman Allah:
“Dan di
antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
(lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan.” (Qs. Luqmân [31]: 6)
b. Hadits Abu
Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan
yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).”
[HR. Bukhari, Shahih Bukhari, hadits no. 5590].
c.
Hadits
Aisyah ra Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian
(qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.”
Kemudian beliau membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu
Mardawaih].
d. Hadits dari
Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air
menumbuhkan kembang.” [HR. Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi,
hadits mauquf].
e.
Hadits dari
Abu Umamah ra, Rasulullah Saw bersabda:
“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus
padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya
pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].
f.
Hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan
sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling
syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah
sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan
(rannatus syaithan).”
3. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian:
a. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah
kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui
batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
b. Hadits dari Nafi’ ra, katanya:
Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam
perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan
telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar
suara itu?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan
berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Saw.” [HR. Ibnu Abid
Dunya dan al-Baihaqi].
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:
Nabi Saw mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau
duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang
hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang
yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka
berkata: “Di antara kita ada Nabi Saw yang mengetahui apa yang akan terjadi
kemudian.” Maka Nabi Saw bersabda:
“Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu
(nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî,
juz. III, hal. 113, dari Aisyah ra].
d. Dari Aisyah ra; dia pernah menikahkan seorang wanita
kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang
Anshar itu suka pada permainan.” [HR. Bukhari].
e. Dari Abu Hurairah ra, sesungguhnya Umar melewati
shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar
memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata:
“Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada
orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim,
juz II, hal. 485].
4. Hukum Mendengarkan Nyanyian
a. Hukum
Mendengarkan Nyanyian (Sama’ al-Ghina’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan
dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan
lagu (at-taghanni bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’
al-ghina’). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-‘âl
(perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud
bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl
jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah
perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia,
seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan,
minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya.
Demikian pula mendengar. Perbuatan
mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh.
Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar,
suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di
sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas
maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi
munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang
mengatakan, “Saya akan membunuh si Fulan!” Membunuh memang haram. Tapi
perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak
haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap
orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar
nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga
nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya
mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita
tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi
Saw bersabda:
“Siapa saja di antara kalian
melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik).
Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu,
ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah
iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu
Majah].
5. Hukum
Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ al-Ghina’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum
mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan
nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina’). Dalam bahasa Arab,
ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’).
Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’) adalah sekedar mendengar, tanpa ada
interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’
li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya
berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada
dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang
penyanyi (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’
al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian
secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali
tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh
mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar
nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina’) dan nyanyiannya adalah
nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat)
karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu
adalah haram (Syaikh Muhammad asy-Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf
an-Nas, hal. 104). Allah SWT berfirman:
“Maka janganlah kamu duduk
bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (Qs.
an-Nisâ’ [4]: 140).
6. Hukum
Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat
musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya? Jawabannya adalah, secara
tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan
kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau
rebana. Sabda Nabi Saw:
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya
rebana (ghirbal).” [HR. Ibnu Majah] ( Abi Bakar Jabir
al-Jazairi, Haramkah Musik Dan Lagu? (Al-I’lam bi Anna al-‘Azif wa
al-Ghina Haram), hal. 52; Toha Yahya Omar, Hukum Seni
Musik, Seni Suara, Dan Seni Tari Dalam Islam, hal. 24).
Adapun selain alat musik ad-duff
/ al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada
pula yang menghalalkan. Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla,
juz VI, hal. 59 mengatakan:
“Jika belum ada perincian dari
Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini
[dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah
terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Dr. Abdurrahman
al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 57).
Kesimpulannya,
memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum
dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu
suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan,
kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
B. Islam dan Gender
1. Pengertian Gender
Gender artinya suatu konsep,
rancangan atau nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan
fungsi serta peran perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau
kodrat, yang oleh masyarakat kemudian dibakukan menjadi ’budaya’ dan seakan
tidak lagi bisa ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan itu yang tepat bagi
perempuan. Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan
laki-laki samasama menikmati status, kondisi, atau kedudukan yang setara,
sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi pembangunan di
segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Islam
mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan, keserasian,
keselarasan, keutuhan, baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya. Konsep relasi gender dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan
gender dalam masyrakat, tetapi secara teologis dan teleologis mengatur pola
relasi mikrokosmos (manusia), makrosrosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan
demikian manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah, dan hanya
khalifah sukses yang dapat mencapai derajat abadi sesungguhnya. Islam
memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu kepada ayat-ayat (al-Qur’an)
substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum syari’ah (maqashid al-syariah),
antara lain: mewujudkan keadilan dan kebajikan (Q.S.
an-Nahl [16]: 90)
Artinya : “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
2. Kesetaraan
Gender Dalam Al Qur’an
Di dalam ayat-ayat Alqur’an maupun
sunnah nabi yang merupakan sumber utama ajaran islam, terkandung nilai-nilai
universal yang menjadi petunjuk bagi kehidupan manusia dulu, kini dan akan
datang. Nilai-nilai tersebut antara lain nilai kemanusiaan, keadilan,
kemerdekaan, kesetaraan dan sebagainya. Berikut ini beberapa hal yang perlu
diketahui mengenai kesetaraan Gender dalam Al-quran.
a.
Apa yang
Dimaksud dengan Istilah "Gender"?
Gender adalah pandangan atau
keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang
perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya Pandangan
bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri,
lemah-lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah mahluk yang sensitif, emosional,
selalu memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa
pemimpin, pelindung, kepala rumah-tangga, rasional, tegas dan sebagainya.
Singkatnya, gender adalah jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang
belum tentu benar. Berbeda dengan Seks yang merupakan jenis kelamin biologis
ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa
melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma,
yang sudah ada sejak dahulu kala.
b. Apakah
Al-quran mengatur tentang kesetaraan Gender?
Ya, dalam alquran surat Al-Isra ayat
70 yang berbunyi ( ditulis alqurannya dalam buku perempuan sebagai kepala
rumah tangga hal 41) Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu
laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang
paling terhormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan
dan menerima petunjuk. Oleh karena itu Al-quran tidak mengenal pembedaan
antara lelaki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, lelaki dan
perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan
antara lelaki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Adapun
dalil-dalil dalam Al-quran yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
1) Tentang
hakikat penciptaan lelaki dan perempuan
Surat Ar-rum ayat 21, surat An-nisa
ayat 1, surat Hujurat ayat 13 yang pada intinya berisi bahwa Allah SWT telah
menciptakan manusia berpasang-pasangan yaitu lelaki dan perempuan, supaya
mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta
kasih mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta
agar mereka saling mengenal. Ayat -ayat diatas menunjukkan adanya hubungan yang
saling timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang
mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
2) Tentang
kedudukan dan kesetaraan antara lelaki dan perempuan
Surat Ali-Imran ayat 195, surat
An-nisa ayat 124, surat An-nahl ayat 97, surat Ataubah ayat 71-72, surat Al-ahzab
ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah SWT secara khusus menunjuk baik
kepada perempuan maupun lelaki untuk menegakkan nilai-nilai islam dengan
beriman, bertaqwa dan beramal. Allah SWT juga memberikan peran dan tanggung
jawab yang sama antara lelaki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan
spiritualnya. Dan Allah pun memberikan sanksi yang sama terhadap perempuan dan
lelaki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi pada intinya kedudukan dan
derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT adalah sama, dan yang
membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
3) Apa Saja
Prinsip Kesetaraan
Gender dalam Al-Qur’an?
Menurut D.R. Nasaruddin Umar dalam
"Jurnal Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan" (2000) ada
beberapa hal yang menunjukkan bahwa prinsip-prinsip kesetaraan gender ada di
dalam Qur’an, yakni:
(a)
Perempuan
dan Laki-laki Sama-sama Sebagai Hamba
Menurut Q.S. al-Zariyat (51:56), (ditulis
alqurannya dalam buku argumen kesetaraan gender hal 248) Dalam kapasitas sebagai
hamba tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Keduanya
mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal. Hamba
ideal dalam Qur’an biasa diistilahkan sebagai orang-orang yang bertaqwa
(mutaqqun), dan untuk mencapai derajat mutaqqun ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis
tertentu, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Hujurat (49:13)
(b)
Perempuan
dan Laki-laki sebagai Khalifah di Bumi
Kapasitas manusia sebagai khalifah
di muka bumi (khalifah fi al’ard) ditegaskan dalam Q.S. al-An’am(6:165),
dan dalam Q.S. al-Baqarah (2:30) Dalam kedua ayat tersebut, kata
‘khalifah" tidak menunjuk pada salah satu jenis kelamin tertentu, artinya,
baik perempuan maupun laki-laki mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah,
yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi.
(c)
Perempuan
dan Laki-laki Menerima Perjanjian Awal dengan Tuhan
Perempuan dan laki-laki sama-sama
mengemban amanah dan menerima perjanjian awal dengan Tuhan, seperti dalam Q.S.
al A’raf (7:172) yakni ikrar akan keberadaan Tuhan yang disaksikan oleh para
malaikat. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar
ketuhanan yang sama. Qur’an juga menegaskan bahwa Allah memuliakan seluruh anak
cucu Adam tanpa pembedaann jenis kelamin. (Q.S. al-Isra’/17:70)
(d)
Perempuan
dan Laki-laki Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Peluang
untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan antara perempuan dan
laki-laki ditegaskan secara khusus dalam 3 (tiga) ayat, yakni: Q.S. Ali Imran
/3:195; Q.S.an-Nisa/4:124; Q.S.an-Nahl/16:97. Ketiganya mengisyaratkan konsep
kesetaraan gender yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual,
baik dalam bidang spiritual maupun karier profesional, tidak mesti didominasi
oleh satu jenis kelamin saja.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Memainkan
alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil
tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah
haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya,
yaitu mubah. Kedudukan dan derajat antara lelaki dan perempuan dimata Allah SWT
adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Omar, Toha
Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam.
Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Al-Jazairi,
Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna
Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta :
Wala` Press).
Santoso,
Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. http://www.ummigroup.co.id/
No comments:
Post a Comment